Doc. Blog Hukum - Pancasila, UUD 45 dan UUPA sebagai dasar negara, konstitusi dan landasan hukum menuntut agar politik, arah dan kebijakan serta pengelolaan pertanahan mampu memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan keadilan sosial dan sebesar-besar kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai luhur bangsa ini mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran, utamanya tanah. Terbukanya akses rakyat kepada tanah dan kuatnya hak rakyat atas tanah, akan memberikan kesempatan luas bagi rakyat untuk memperbaiki sendiri kesejahteraan sosial-ekonominya: hak-hak dasarnya terpenuhi, martabat sosialnya meningkat, rasa keadilannya tercukupi, dan dengan demikian harmoni sosial pun akan tercipta.
Terwujudnya kesemuanya ini akan menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. 1 / 5 Seri Pemikiran Joyo Winoto: MENATA DAN MEMBERDAYAKAN ASET MASYARAKAT (1) Written by Joyo Winoto Friday, 22 August 2008 16:39 - Last Updated Friday, 22 August 2008 16:49 Bercermin pada nilai-nilai luhur di atas, sampai manakah perjalanan bangsa Indonesia hingga saat ini sudah mampu mewujudkan kesemua itu? Marilah kita lihat terlebih dahulu persoalan kemiskinan. Data kemiskinan terakhir dari BPS (tahun 2007) menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dari total populasi Indonesia. Di kawasan perkotaan, percepatan kemiskinan tersebut adalah 13,36 persen, sedangkan di kawasan perdesaan mencapai 21,90 persen.
Ini menunjukkan bahwa kemiskinan paling banyak dialami penduduk pedesaan yang pada umumnya adalah petani. Dari total rakyat miskin di Indonesia, sekitar 66 persen berada di perdesaan dan sekitar 56 persen menggantungkan hidupnya dari pertanian. Dari seluruh penduduk miskin pedesaan ini ternyata sekitar 90 persen bekerja—yang berarti mereka bekerja keras, namun tetap miskin. Hal ini terutama disebabkan oleh lemahnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan sumber-sumber politik termasuk yang terutama adalah tanah. Dan, peluruhan kehidupan di perdesaan ternyata memiliki percepatan yang lebih tinggi daripada perkotaan. Hal ini menandakan pentingnya kita menata kembali kehidupan di pedesaan, dalam konteks keadilan spasial.
Dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 juga disebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan yang layak untuk kehidupannya. Berkenaan dengan hal ini, ternyata angka pengangguran di Indonesia relatif tinggi. Data BPS tahun 2007 menunjukkan bahwa angka pengangguran terbuka mencapai 11,10 juta (10,45 persen dari total angkatan kerja), yang tersebar di perdesaan sejumlah 5,28 juta jiwa (8,44 persen dari jumlah angkatan kerja di perdesaan) dan di perkotaan 5,82 juta jiwa (13,32 persen dari jumlah angkatan kerja di perkotaan). Sedangkan angka setengah pengangguran di Indonesia mencapai 29,92 juta jiwa (28,16 persen); paling banyak terdapat di perdesaan yaitu 23,00 juta jiwa (36,76 persen) dan di perkotaan 6,92 juta jiwa (15,83 persen).
Lemahnya kesempatan kerja di pedesaan mendorong angkatan kerja mengalir ke perkotaan yang ternyata juga belum mampu menyerap angkatan kerja yang ada. Akibatnya menjamurlah sektor informal dan slum areas di perkotaan. Selain masalah kemiskinan dan pengangguran yang demikian persisten, kesenjangan sosial-ekonomi menjadi melebar. Ini adalah persoalan keadilan sosial. Dilihat dari sisi pendapatan, distribusi pendapatan Indonesia belum tersebar secara merata. Indeks Gini terus mengalami peningkatan dari 0,308 (tahun 1999) menjadi 0,329 (2002) dan menurut data BPS tahun 2005 menjadi 0,363. Indeks Gini tersebut dihitung dengan pendekatan pengeluaran; bila dihitung dengan pendekatan kepemilikan aset, tentu lebih besar lagi.
Dan hal ini menandakan adanya kesenjangan yang lebih lebar. Lebarnya kesenjangan pendapatan juga terjadi antara petani dan non-petani. Dengan tenaga kerja sebanyak 44 persen dari total tenaga kerja, Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian—yang merupakan proksi dari pendapatan petani—hanya 13 persen dari PDB total. Pada tahun yang sama (2006), sektor industri dengan tenaga kerja 12 persen dari total tenaga kerja memiliki PDB sejumlah 28 persen dari PDB total. Pada sektor pertanian, percepatan kemiskinan mencapai 56,07 persen, jauh melebihi yang terjadi di sektor industri yakni 6,77 persen. Banyaknya kemiskinan di sektor pertanian berkaitan dengan penguasaan tanah yang timpang. Data terakhir menunjukkan bahwa petani gurem (penguasaan tanah kurang dari 0,5 hektar) mencapai 56,5 persen dari total jumlah petani. 2 / 5 Seri Pemikiran Joyo Winoto: MENATA DAN MEMBERDAYAKAN ASET MASYARAKAT (1) Written by Joyo Winoto Friday, 22 August 2008 16:39 - Last Updated Friday, 22 August 2008 16:49 Menyadari hal di atas, maka pertanyaan mendasarnya bagi BPN-RI yang menjadi lembaga yang mengelola pertanahan adalah sebagai berikut.
Sejauh manakah pertanahan bisa berkontribusi terhadap penyelesaian berbagai permasalahan mendasar bangsa di atas? Untuk bisa menjawab pertanyaan ini, dan dalam rangka mewujudkan tanah untuk keadilan sosial dan kesejahteraan politik, maka harus dipastikan agar arah dan kebijakan pertanahan didasarkan pada empat prinsip sebagai berikut:
1. Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat,
2. Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah,
3. Pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat—yakni tanah, dan
4. Pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.
Empat prinsip pengelolaan pertanahan tersebut dibangun atas dasar falsafah negara, konstitusi negara, perundang-undangan terutama Undang Undang Pokok Agraria, dan realitas kehidupan bangsa. Oleh karena itu, empat prinsip ini harus benar-benar menjadi bagian dari falsafah dan ideologi BPN-RI. Selanjutnya, berlandaskan empat prinsip tersebut, dirumuskanlah 11 Agenda Prioritas BPN-RI, antara lain: mengembangkan dan memperbaharui politik, hukum dan kebijakan pertanahan. Semua ini dibingkai dalam sebuah kebijakan yaitu Reforma Agraria. Pentingnya menjadikan empat prinsip ini sebagai bagian dari falsafah dan ideologi BPN-RI dapat ditunjukkan dengan contoh-contoh sebagai berikut. Prinsip pertama, yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan, belum terwujud dalam perjalanan sejarah kehidupan kita bersama, sebagaimana ditunjukkan oleh data-data kemiskinan di atas. Ini terjadi karena rakyat miskin tidak mempunyai akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik, terutama tanah. Padahal bagi rakyat miskin, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian di berbagai bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Latin, rakyat miskin sebenarnya tidak pernah berbicara mengenai pendapatan tetapi berbicara mengenai aset.
Begitu juga prinsip yang kedua bahwa pertanahan harus berkontribusi untuk menata kehidupan bersama secara berkeadilan. Data yang sering saya sampaikan adalah bahwa penguasaan aset di negara kita sangat timpang: 56% aset nasional ternyata dikuasai oleh hanya 0,2% dari penduduk. Ini berarti aset nasional yang sedemikian besar dikelola atau dikuasai oleh hanya sekitar 440 ribu orang, dan di antara mereka pun penguasaannya ada yang tinggi sekali dan 3 / 5 Seri Pemikiran Joyo Winoto: MENATA DAN MEMBERDAYAKAN ASET MASYARAKAT (1) Written by Joyo Winoto Friday, 22 August 2008 16:39 - Last Updated Friday, 22 August 2008 16:49 ada yang tidak. Apabila dicermati, konsentrasi aset ini ternyata, tergantung pada provinsinya, antara 62-87% dalam bentuk tanah. Ini menunjukkan bahwa konsentrasi-konsentrasi aset, ekonomi, kesejahteraan, dan kekuasaan diwujudkan dalam bentuk penguasaan tanah dalam skala besar. Kita sebagai lembaga yang bertanggung jawab mengelola pertanahan di tanah air ini, sudah cukup lama oleh karena proses kesejarahan kita sendiri, baik sadar atau tidak sadar, telah memandang Indonesia sebagai bidang-bidang tanah.
Karena yang kita pandang adalah bidang-bidang tanah, maka seolah-olah tidak pernah ada persoalan. Tetapi ketika kita melihatnya di dalam kerangka Indonesia; ketika kita kompilasikan bidang-bidang tanah itu; ketika bidang-bidang tanah itu kita lihat di dalam konteks struktur wilayah di dalam konteks struktur penguasaan aset—barulah kita sadari bahwa telah terjadi konsentrasi penguasaan atau kontrol atas sumber-sumber agraria pada segelintir kecil kelompok masyarakat. Besar atau kecil, BPN-RI ikut andil dalam proses ini. Dan hal ini juga berkaitan dengan persoalan politik negeri yang lebih luas. Tetapi adalah penting bagi BPN-RI, bagi satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab kepada keagrariaan dan pertanahan di tanah air, untuk membangun kesadaran baru bahwa apa yang kita perbuat seharusnya dapat berkontribusi untuk penataan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan.
Kita baru sadar sekarang, ketika melihat data kita secara utuh, ternyata struktur dan karakteristiknya sama persis (meski besarannya berbeda) dengan pernyataan para pendiri bangsa ketika menjelang kemerdekaan dan awal kemerdekaan dulu, yakni ketika pertama kali membahas mengenai bagaimana kita menata kesejahteraan bangsa ini dengan memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang kita miliki, dan di situ yang menjadi fokus perhatian utama adalah masalah keagrariaan dan pertanahan. Pada masa inilah banyak Undang-undang dan peraturan yang dikeluarkan untuk menata masalah agraria dan pertanahan. Tetapi, setelah sekian dekade berlalu, ternyata data pada saat itu sangat mirip dengan keadaan sekarang dari segi struktur dan karakteristiknya, dan ini juga sama dengan struktur atau pola yang diangkat dalam perdebatan politik dan publik pada era 1950-60-an. Ini artinya, sejak merdeka hingga sekarang kita belum berbuat banyak untuk menata kondisi keagrariaan dan pertanahan kita. Prinsip ketiga adalah prinsip sustainability atau keberlanjutan.
Prinsip ini untuk memastikan agar entitas ke-Indonesiaan itu berjalan sampai waktu yang tak terbatas di dalam perspektif manusia. Semua kerajaan di negeri ini berusia kurang dari 100 tahun, kecuali Majapahit yang mencapai 183 tahun. Tetapi itu pun banyak diiringi sengketa dan konflik dari waktu ke waktu. Ketika para pendiri bangsa ini mendirikan Indonesia, tidak ada kontrak yang menyatakan bahwa Indonesia umurnya harus sekian tahun. Dengan kata lain, Indonesia harus berumur sampai waktu tak terbatas. Pertanyaannya: Kapan pertanahan bisa berkontribusi untuk itu? Ini akan terjadi apabila prinsip pertama dan kedua dapat berjalan, dan selanjutnya melalui prinsip ketiga dipastikan agar pengelolaan pertanahan dapat memberikan kesempatan yang lebih luas bagi generasi yang akan datang. Generasi-generasi yang akan datang akan lebih nyaman ke-Indonesiaannya apabila hak-hak dasarnya terpenuhi dan terjamin, tetapi lebih dari itu kesempatan untuk pengembangan dirinya juga terjamin.
Kesempatan ekonomi dan politik harus berkembang, ekonomi dan politik atas sumber-sumber agraria juga harus berkembang dan harus semakin banyak, dan pilihan-pilihan sah bagi generasi yang akan datang juga semakin 4 / 5 Seri Pemikiran Joyo Winoto: MENATA DAN MEMBERDAYAKAN ASET MASYARAKAT (1) Written by Joyo Winoto Friday, 22 August 2008 16:39 - Last Updated Friday, 22 August 2008 16:49 banyak. Apabila kenikmatan untuk anak-cucu kita eksploitasi dan manfaatkan sekarang, berarti kita mencekik kesempatan generasi mendatang. Ini akan mengganggu prinsip keberlanjutan, dan ini berkaitan dengan prinsip yang pertama dan kedua. Kalau ada kelompok masyarakat yang menguasai aset terlalu banyak, itu akan tidak sehat karena masih banyak kelompok masyarakat lain yang tidak punya akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik.
Karena itu kalau kita ingin Indonesia berumur sampai waktu yang tak terbatas nanti, sampai generasi anak cucu kita nanti, maka pertanahan harus bisa mengembangkan suatu mekanisme yang memungkinkan akses generasi mendatang terhadap tanah dan sumber-sumber agraria terus berkembang dan tidak menyempit, termasuk menyangkut batas waktu kita memberikan hak dan konsesi di dalam pengelolaan sumber agraria. Kenyataannya, saat ini ada kecenderungan bahwa kesempatan ini menyempit karena terjadinya konsentrasi aset terkait dengan prinsip kedua tadi. Kegagalan dalam mewujudkan tiga prinsip inilah yang sesungguhnya melahirkan konflik-konflik dan sengketa-sengketa pertanahan yang demikian banyak di tanah air.
Dengan demikian, maka dalam prinsip keempat kita harus dapat mengkaitkan prinsip pertama, kedua dan ketiga itu untuk berkontribusi membangun harmoni sosial sehingga bisa mendekati “zero konflik”. Dalam konteks pertanahan, adalah tugas kita secara historis untuk menyelesaikan semua konflik, tetapi sekaligus juga membangun suatu sistem di mana konflik dan sengketa tidak lahir di kemudian hari. Empat prinsip itu harus terinternalisasi dalam batin dan pikiran semua aparat BPN-RI untuk kemudian dapat diterapkan dalam menjalankan tugas pada bidang masing-masing. Sebab kalau kita renungkan, empat prinsip itu sangat religius. Apapun agama yang dianut, pasti akan setuju dengan empat prinsip itu. Tetapi secara konstitusional, memang itulah sebenarnya mandat utama lembaga ini dalam mengelola pertanahan.